Mei 2025 | LOmbok Society

Kamis, 01 Mei 2025

Transportasi Nyaman dari Bandara ke Senggigi

eni sulistiani

Transportasi Nyaman dari Bandara ke Senggigi – Awal yang Sempurna Menjelajahi Keindahan Lombok


Setibanya Anda di Bandara Internasional Lombok (Zainuddin Abdul Madjid), udara hangat khas tropis langsung menyambut. Aroma laut dari kejauhan terasa samar, membangkitkan semangat petualangan di pulau yang terkenal akan keasrian alamnya dan budaya yang kental. Dari bandara, tersedia layanan transportasi nyaman menuju Senggigi dengan tarif hanya Rp250.000 – solusi ideal bagi wisatawan yang ingin perjalanan bebas repot dan langsung menikmati liburan.

http://www.lomboksociety.web.id/2025/05/transportasi-nyaman-dari-bandara-ke.html


Dengan kendaraan ber-AC dan pengemudi lokal yang ramah, Anda akan melewati pemandangan sawah hijau, bukit-bukit kecil, dan desa-desa Sasak yang asri selama sekitar 1–1,5 jam perjalanan menuju Senggigi. Di sepanjang perjalanan, Anda akan menyadari mengapa Lombok menjadi destinasi favorit para pelancong dari seluruh dunia: perpaduan antara keindahan alam dan keramahan penduduk lokal membuat setiap sudut terasa istimewa.


Namun, tujuan utama Anda—Senggigi—adalah sebuah permata yang sesungguhnya. Terletak di pesisir barat pulau, Senggigi menjadi kawasan wisata paling berkembang di Lombok, menyajikan pesona yang seimbang antara kenyamanan modern dan nuansa alam yang belum tersentuh.


Senggigi: Simfoni Keindahan Pantai, Hiburan, dan Kenyamanan


Begitu tiba di Senggigi, Anda akan disambut oleh bentangan garis pantai yang panjang dengan pasir putih keemasan yang kontras indah dengan birunya laut. Ombak yang tenang membuat pantai-pantai di Senggigi ideal untuk berenang, bersantai, hingga bermain jetski atau banana boat. Dari pagi hingga senja, area ini tak pernah kehilangan daya tariknya. Bahkan saat malam tiba, lampu-lampu dari café dan bar mulai menyala, menciptakan suasana hangat yang cocok untuk menikmati malam tropis yang santai.


Pantai Senggigi adalah magnet utama. Di sinilah wisatawan bisa menikmati pemandangan matahari terbenam yang luar biasa. Langit jingga yang memantul di permukaan laut menciptakan suasana romantis yang sulit dilupakan. Pantai ini juga menjadi titik favorit untuk bermain jetski. Dengan harga yang terjangkau, Anda bisa merasakan sensasi melaju di atas ombak sambil memandang Gunung Agung di Bali dari kejauhan. Jika Anda lebih suka yang santai, kursi pantai dan gazebo tersedia untuk bersantai dengan kelapa muda atau minuman dingin di tangan.


Surga Hotel dan Penginapan: Dari Budget hingga Mewah


Senggigi menawarkan berbagai pilihan akomodasi, dari hotel mewah bintang lima hingga penginapan bergaya tropis dengan nuansa alami. Hotel-hotel seperti Sheraton Senggigi Beach Resort, Katamaran Resort, dan Sudamala Suites & Villas memberikan layanan premium dengan pemandangan langsung ke laut dan akses pantai pribadi.


Bagi yang mencari opsi lebih terjangkau, tersedia banyak guesthouse, homestay, dan villa bergaya tradisional yang tidak kalah nyaman. Beberapa hotel bahkan menyediakan spa, yoga, hingga kelas memasak lokal—menjadikan pengalaman menginap bukan sekadar tidur, tapi benar-benar menikmati budaya dan keindahan Lombok.


Mayoritas akomodasi di Senggigi juga berlokasi strategis: hanya beberapa langkah dari pantai, restoran, dan pusat hiburan malam. Anda bisa berjalan kaki di sepanjang jalan utama Senggigi dan dengan mudah menemukan berbagai fasilitas wisata.


Kuliner dan Hiburan Malam yang Menggoda


Jika Anda pencinta kuliner, Senggigi adalah surga. Restoran di kawasan ini menyajikan beragam masakan: dari makanan khas Lombok seperti ayam taliwang, plecing kangkung, hingga sajian internasional seperti pizza Italia, sushi Jepang, dan seafood segar ala Mediterania.


Beberapa restoran terkenal seperti The Square, Cafe Alberto, dan SPICE Lounge tidak hanya menawarkan makanan lezat, tetapi juga atmosfer romantis dengan latar suara ombak dan cahaya lilin. Di malam hari, café dan bar di Senggigi mulai dipenuhi turis dan musisi lokal, menciptakan suasana hangat penuh keceriaan. Happy Café misalnya, dikenal sebagai pusat hiburan live music di Senggigi, tempat ideal untuk menikmati malam yang santai.


Belanja dan Oleh-oleh: Kombinasi Budaya dan Gaya


Tak lengkap rasanya jika ke Senggigi tanpa membawa pulang buah tangan. Kawasan ini punya sejumlah toko oleh-oleh dan butik yang menjual kerajinan tangan khas Lombok seperti kain tenun ikat, mutiara, dan keramik tradisional. Pasar seni Senggigi adalah tempat ideal untuk berburu oleh-oleh sambil berinteraksi langsung dengan pengrajin lokal.


Untuk Anda yang menyukai fashion dan aksesoris, terdapat butik modern yang menawarkan produk lokal dan internasional, dari pakaian pantai bergaya bohemian hingga perhiasan perak dan mutiara laut.


Kegiatan Seru di Laut: Lebih dari Sekadar Berjemur


Senggigi bukan hanya tentang bersantai, tetapi juga penuh dengan aktivitas seru di air. Selain jetski, tersedia pilihan banana boat, snorkeling, dan paddle board. Anda juga bisa menyewa perahu untuk tur ke pantai-pantai tersembunyi atau melakukan trip satu hari ke Gili Nanggu atau Gili Trawangan.


Beberapa operator wisata di Senggigi juga menyediakan layanan diving bagi pemula dan profesional, dengan spot menyelam yang menampilkan keindahan terumbu karang dan kehidupan bawah laut yang memukau.


Akses Mudah, Liburan Tanpa Repot


Dengan adanya layanan transportasi dari bandara ke Senggigi seharga Rp250.000, perjalanan Anda menjadi lebih praktis dan nyaman. Pengemudi lokal yang profesional akan membantu Anda sampai ke hotel atau penginapan yang Anda pilih dengan aman. Layanan ini bisa dipesan sebelumnya, menghindarkan Anda dari tawar-menawar atau kebingungan mencari taksi di bandara.


Senggigi memang menawarkan paket lengkap: pantai yang indah, akomodasi nyaman, kuliner lezat, hiburan seru, dan berbagai aktivitas yang membuat setiap hari terasa menyenangkan. Bagi Anda yang ingin merasakan sisi terbaik dari Lombok, Senggigi adalah pintu masuk yang sempurna—dan semuanya bisa dimulai hanya dengan sebuah perjalanan dari bandara.


Transportasi bandara Lombok ke Mataram

eni sulistiani

Dari Surabaya ke Mataram – Perjalanan Awal yang Menghangatkan Hati


Namaku Dimas. Aku berasal dari Surabaya, dan bulan lalu aku mendapatkan kabar baik: sebuah perusahaan teknologi yang sedang berkembang di Mataram, Lombok, menerima lamaranku sebagai desainer UI. Aku senang bukan main—selain karena pekerjaan impian itu akhirnya datang juga, aku juga akan pindah ke pulau yang selama ini hanya bisa kulihat lewat foto dan cerita teman-teman yang liburan ke sana.

http://www.lomboksociety.web.id/2025/05/transportasi-bandara-lombok-ke-mataram.html


Namun, aku bukan datang untuk liburan. Setidaknya bukan langsung. Aku datang untuk memulai hidup baru. Tapi siapa sangka, bahkan hari pertamaku di Lombok—baru saja menapakkan kaki di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid—sudah memberiku pengalaman yang tak akan kulupakan.


Pesawat dari Surabaya mendarat mulus sekitar pukul 9 pagi. Udara Lombok terasa berbeda—lebih hangat, lebih bersih, dan entah bagaimana terasa lebih santai. Aku keluar dari terminal dengan membawa dua koper besar, backpack di punggung, dan satu folder berisi dokumen penting.


Aku sempat bingung mau naik apa ke Mataram. Aku tahu jaraknya sekitar 45 menit sampai satu jam dari bandara, tergantung lalu lintas. Sebagai orang yang belum pernah ke sini, aku sempat browsing beberapa hari sebelumnya, dan menemukan banyak pilihan: taksi bandara, ojek online, atau jasa transportasi lokal. Tapi aku akhirnya memilih satu jasa yang direkomendasikan teman—mobil pribadi dengan sopir lokal, harga Rp150.000. Katanya, supirnya ramah dan tahu semua tempat di Lombok.


Begitu keluar dari terminal, aku langsung melihat seseorang membawa papan bertuliskan namaku. “Dimas – Transport Mataram.” Aku menghampirinya.


“Selamat pagi, Mas Dimas,” sapa pria itu sambil tersenyum ramah. “Saya Dani, yang akan antar ke Mataram.”


Mobilnya bersih dan ber-AC, sebuah Avanza putih yang terlihat masih cukup baru. Setelah membantu memasukkan koporku ke bagasi, Dani langsung menyalakan mesin dan mulai perjalanan.


“Mas baru pertama kali ke Lombok ya?” tanyanya sambil menatap jalan.


Aku mengangguk. “Iya, Mas. Dapat kerjaan di Mataram. Baru mulai minggu depan.”


“Wah, selamat ya Mas. Banyak yang datang ke sini sekarang, Lombok makin berkembang. Mataram enak kok, kotanya tenang, orang-orangnya ramah.”


Sepanjang perjalanan, Dani banyak bercerita. Tentang bagaimana dulunya dia bekerja di sektor pariwisata Gili Trawangan, tapi sejak pandemi, dia banting setir jadi supir transportasi bandara. Ia bangga karena bisa bantu wisatawan maupun pekerja baru seperti aku untuk merasa nyaman di hari pertama mereka di Lombok.


“Mas tahu nggak,” ujarnya sambil menunjuk ke arah sawah di sisi kanan jalan, “dulu daerah sini cuma sawah dan kebun, tapi sekarang sudah banyak dibangun homestay. Banyak orang luar datang buka usaha.”


Aku hanya bisa mengangguk sambil mengagumi pemandangan. Sawah hijau yang membentang luas, gunung yang menjulang dari kejauhan, dan udara yang sejuk membuatku lupa sejenak tentang kekhawatiran hari pertama: tempat kerja baru, lingkungan baru, orang-orang baru.


Dani tidak hanya mengantarku, tapi juga memberikan informasi penting. Ia memberitahuku di mana pasar terdekat, bank yang biasa digunakan pendatang, dan bahkan menawarkan bantuan kalau aku butuh dijemput atau diantar ke tempat-tempat lain nanti.


“Kita mampir bentar ya Mas, ini jalur yang biasa saya lewati. Kalau Mas nanti mau makan enak dan murah, warung ini juaranya,” katanya sambil parkir di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Aku sebenarnya tidak lapar, tapi melihat nasi balap puyung dengan lauk ayam suwir pedas dan telur bulat kecoklatan, aku langsung berubah pikiran.


“Makan dulu Mas, biar kuat,” ujarnya sambil tersenyum. Ia bahkan menolak ketika kutawarkan untuk kubayari juga.


Setelah makan, kami lanjut jalan. Sekitar 20 menit kemudian, kami mulai memasuki Kota Mataram. Aku bisa merasakan perubahan suasana—dari jalanan pedesaan yang tenang ke lalu lintas yang mulai ramai. Tapi tidak seramai Surabaya. Di sini terasa lebih teratur, lebih santai.


“Ini Mas, hotel tempat Mas nginap kan?” Dani memarkirkan mobilnya di depan sebuah penginapan kecil di kawasan Cakranegara. Aku memeriksa alamat yang kuberikan—benar.


Aku mengeluarkan uang Rp150.000 dan menyodorkannya padanya. Ia menerimanya dengan senyum dan berkata, “Kalau Mas butuh apa-apa, tinggal hubungi saya saja. Nomor saya sudah ada di WhatsApp ya.”


Sebelum pergi, ia sempat berkata, “Selamat mulai hidup baru di Lombok ya, Mas. Semoga betah. Di sini orangnya ramah-ramah, dan pemandangannya bagus. Tapi yang paling penting, jangan lupa senyum.”


Perjalanan yang awalnya kukira cuma antar-jemput biasa itu ternyata jadi pengalaman menyenangkan. Tidak hanya karena mobilnya nyaman dan harganya terjangkau, tapi karena sambutan yang hangat dari orang-orang seperti Dani yang membuatku merasa diterima.


Di malam hari, saat aku membuka jendela kamar hotel dan merasakan angin sepoi dari luar, aku tersenyum sendiri. Lombok menyambutku bukan dengan gegap gempita, tapi dengan keramahan dan ketulusan. Dan semuanya dimulai dari perjalanan Rp150.000 dari bandara.


Transportasi Bandara Lombok ke Senaru

eni sulistiani

Perjalanan Pagi Menuju Senaru: Cerita dari Kursi Penumpang Bersama Pak Roni


Pagi itu, langit Lombok tampak cerah, udara bersih, dan angin sejuk dari perbukitan selatan mulai terasa sejak keluar dari pintu kedatangan Bandara Internasional Lombok. Kami dijemput oleh Pak Roni, seorang sopir lokal yang sudah belasan tahun mengantarkan wisatawan ke berbagai penjuru pulau. Mobilnya bersih dan nyaman, dengan AC dingin dan senyuman hangat menyambut kami.

http://www.lomboksociety.web.id/2025/05/transportasi-bandara-lombok-ke-senaru.html


“Selamat pagi, Bapak/Ibu. Selamat datang di Lombok. Saya Roni, yang akan mengantar ke Senaru hari ini,” sapa beliau ramah sambil membantu memasukkan koper ke bagasi.


Kami berangkat sekitar pukul 07.30 pagi. Suasana masih lengang, dan perjalanan terasa menyenangkan sejak awal. Rute menuju Senaru akan memakan waktu sekitar 2,5 sampai 3 jam, tergantung kondisi lalu lintas. Perjalanan ini menempuh jalur tengah Pulau Lombok, melewati Mataram, kemudian menuju utara ke arah kaki Gunung Rinjani.


Setelah beberapa menit perjalanan, Pak Roni mulai bercerita.


“Biasanya tamu-tamu saya senang ngobrol tentang Lombok di jalan. Kalau Bapak/Ibu tidak keberatan, saya bisa cerita sedikit tentang kampung halaman saya ini.”


Kami tentu saja menyambut tawaran itu. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari mendengar cerita langsung dari orang lokal.


“Lombok ini pulau yang kecil, tapi sangat beragam. Penduduk aslinya mayoritas adalah suku Sasak. Tapi di sini juga banyak orang Bali, Jawa, bahkan Bugis dan Arab. Semuanya hidup berdampingan. Kalau ke kota seperti Mataram, bisa lihat pura berdiri di samping masjid. Itu hal biasa di sini,” jelasnya sambil tetap fokus mengemudi.


Mobil melintasi hamparan sawah dan perkampungan. Anak-anak berseragam sekolah tampak di pinggir jalan, beberapa ibu sedang menyapu halaman rumah, dan laki-laki tua duduk di bale-bale bambu sambil menyeruput kopi.


“Sasak itu punya banyak tradisi, lho. Salah satunya adalah merariq, semacam pernikahan adat. Tapi uniknya, sebelum menikah, biasanya pengantin perempuan ‘diculik’ dulu oleh pihak laki-laki. Itu bagian dari adat kami,” lanjut Pak Roni, sambil tertawa kecil.


Ia juga menjelaskan bahwa masyarakat Sasak sangat menjunjung nilai kekeluargaan dan gotong royong. Dalam setiap acara, baik pernikahan, khitanan, hingga kematian, semua tetangga pasti membantu—baik dalam bentuk tenaga, bahan makanan, atau waktu.


Kami melewati kota kecil bernama Tanjung, lalu terus menanjak ke daerah Bayan. Di sinilah suasana pegunungan mulai terasa. Udara menjadi lebih sejuk, pepohonan rimbun menghiasi sisi kiri dan kanan jalan.


“Kalau Ibu dan Bapak lihat di kiri jalan, itu namanya hutan Sesaot. Banyak kera liar di sana, tapi aman. Dulu masyarakat sini percaya hutan itu dijaga oleh makhluk halus. Jadi kalau lewat situ malam-malam, harus jaga sikap,” ujarnya dengan nada bercanda, tapi tetap menyiratkan rasa hormat terhadap alam.


Kami bertanya tentang kehidupan beragama di Lombok, dan beliau menjelaskan bahwa Lombok dikenal dengan sebutan “Pulau Seribu Masjid.”


“Memang betul, masjid di sini banyak sekali. Tapi jangan salah, kami juga hidup berdampingan dengan umat Hindu, Kristen, dan Budha. Kalau lebaran, tetangga kami yang non-Muslim ikut membantu persiapan. Kalau ada upacara Hindu, kami juga datang bantu. Karena bagi orang Lombok, tetangga itu saudara,” jelas Pak Roni dengan suara mantap.


Ia juga menyinggung soal Islam Wetu Telu, sebuah kepercayaan unik yang dianut sebagian kecil masyarakat Sasak, khususnya di wilayah Bayan. Mereka menjalankan ajaran Islam tapi hanya melakukan shalat tiga kali sehari, dan masih memadukan ajaran Islam dengan tradisi leluhur.


“Bayan itu tempat penting. Di sana ada masjid kuno yang dibangun dari anyaman bambu dan atap ijuk. Masih digunakan untuk upacara adat. Kalau nanti Bapak/Ibu ada waktu, bisa mampir sebelum ke Senaru,” sarannya.


Sepanjang jalan, Pak Roni juga menunjukkan tempat-tempat penting, seperti pasar tradisional, sekolah, hingga rumah-rumah adat. Kami semakin terkesan bukan hanya dengan keindahan alam Lombok, tapi juga dengan kekayaan budaya dan keramahan penduduknya.


Sekitar pukul 10.30, kami akhirnya sampai di Senaru. Udara di sini jauh lebih sejuk, karena letaknya di kaki Gunung Rinjani. Dedaunan bergetar halus diterpa angin pegunungan, dan suara burung terdengar dari kejauhan.


“Sampai juga kita di Senaru. Ini tempat favorit saya, karena dekat dengan alam dan masih terasa suasana Lombok yang asli. Kalau Bapak/Ibu butuh rekomendasi penginapan atau guide untuk trekking, saya bisa bantu,” ujar Pak Roni sambil menurunkan barang.


Sebelum berpisah, ia memberikan nomor teleponnya.


“Nanti kalau mau pulang atau ke tempat lain di Lombok, tinggal hubungi saya saja. Saya siap antar kapan saja,” katanya ramah.


Perjalanan pagi itu bukan hanya sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Tapi juga perjalanan hati, mengenal Lombok dari dalam—dari cerita, wajah, dan semangat orang-orangnya. Terima kasih, Pak Roni. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.


Info Layanan:


Rute: Lombok Airport (LOP) ke Senaru


Waktu Jemput: Pagi hari (dapat disesuaikan)


Durasi Perjalanan: ±3 jam


Harga: Rp600.000 (termasuk mobil AC, sopir berpengalaman, dan bahan bakar)


Sopir: Pak Roni – ramah, komunikatif, dan mengenal budaya lokal


Kontak & Reservasi: [Nomor WhatsApp atau link booking]


Nikmati perjalanan yang nyaman dan penuh cerita bersama kami. Lombok bukan hanya tempat, tapi pengalaman.


Perjalanan Menuju Sembalun dari Bandara Internasional Lombok

eni sulistiani

Dari Langit ke Lereng Rinjani: Perjalanan Menuju Sembalun dari Bandara Internasional Lombok


Bagi para pendaki yang bermimpi menaklukkan Gunung Rinjani, perjalanan dimulai bukan dari kaki gunung, tapi dari saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid atau lebih dikenal sebagai Lombok Airport (LOP).

http://www.lomboksociety.web.id/2025/05/perjalanan-menuju-sembalun-dari-bandara.html


Bandara ini menjadi pintu masuk utama bagi wisatawan domestik dan mancanegara yang ingin menjelajahi alam Lombok. Diresmikan pada 1 Oktober 2011, bandara ini menggantikan Bandara Selaparang yang berada di pusat Kota Mataram. Terletak di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, bandara ini dinamai dari seorang ulama besar asal NTB, Tuan Guru Kyai Haji Zainuddin Abdul Madjid, pendiri organisasi Nahdlatul Wathan yang sangat dihormati di pulau ini.


Bandara ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk ukuran daerah wisata: ruang tunggu nyaman, layanan transportasi bandara, dan pusat informasi pariwisata. Namun, jika tujuan Anda adalah Sembalun, maka Anda harus bersiap melakukan perjalanan darat sejauh kurang lebih 100 kilometer dengan durasi sekitar 3,5 sampai 4 jam.


Menuju Sembalun: Rute dan Transportasi


Saya memulai perjalanan dari bandara sekitar pukul 09.00 pagi. Di pintu kedatangan, saya langsung dijemput oleh sopir dari layanan transportasi lokal yang sudah saya pesan sebelumnya seharga Rp600.000—harga wajar untuk perjalanan jauh menuju wilayah timur laut Lombok.


Sopir saya hari itu adalah Pak Yusuf, pria asli Lombok Timur yang sudah 10 tahun mengantar para pendaki dari bandara ke kaki Rinjani.


“Biasanya, kalau musim pendakian, ramai sekali Mas. Tapi sekarang sedang masuk musim ramai pendaki dari Eropa,” ujarnya sambil memulai perjalanan.


Kami meninggalkan kawasan bandara dan memasuki jalan utama yang mengarah ke utara. Perjalanan melewati Kota Praya terlebih dahulu, lalu berlanjut ke Kota Mataram yang menjadi pusat administrasi dan ekonomi NTB.


Namun, kami tak lama berada di keramaian. Setelah menembus Mataram, kendaraan berbelok ke arah timur, menuju kawasan Lombok Timur, melewati beberapa kecamatan seperti Masbagik, Aikmel, dan Suwela. Jalan yang kami lewati perlahan berubah dari perkotaan menjadi pedesaan, dengan hamparan sawah di kiri dan kanan, serta gunung yang semakin mendekat di kejauhan.


Menyusuri Desa, Masyarakat, dan Kehidupan Tradisional


Yang paling saya sukai dari perjalanan ini adalah pemandangan pedesaan yang autentik. Di banyak titik, kami melewati rumah-rumah adat Sasak, anak-anak yang berlarian membawa layangan, dan pasar-pasar kecil tempat masyarakat menjajakan hasil bumi seperti cabai, bawang, hingga hasil kebun seperti stroberi dan tomat.


Pak Yusuf bercerita bahwa sebagian besar masyarakat di jalur ini hidup dari pertanian dan peternakan. Namun, sejak jalur ke Sembalun ramai oleh pendaki dan wisatawan, beberapa mulai membuka homestay sederhana, warung makan, dan bahkan menjadi porter Gunung Rinjani.


“Kalau ke Rinjani lewat Sembalun, porter-nya ya orang sini semua. Mereka kuat-kuat, biasa naik gunung sejak kecil,” ujar Pak Yusuf bangga.


Memasuki Kawasan Sembalun


Sekitar pukul 13.00, kami mulai memasuki kawasan Sembalun. Udara terasa lebih sejuk, dan pemandangan berubah drastis: hamparan ladang sayur membentang luas, dikelilingi perbukitan hijau yang tenang dan anggun. Ini adalah Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung, dua desa utama yang menjadi pintu gerbang pendakian ke Gunung Rinjani.


Sembalun berada di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut, menjadikannya tempat ideal untuk aklimatisasi sebelum pendakian. Di sini, matahari terasa hangat tapi tidak menyengat, dan udara sangat bersih—bebas dari polusi.


Terdapat sejumlah basecamp resmi pendakian, seperti Rinjani Trek Center (RTC) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. Di tempat ini, pendaki wajib melakukan registrasi, briefing pendakian, dan menyewa porter atau pemandu jika diperlukan.


Biaya masuk Taman Nasional Rinjani saat ini adalah sekitar Rp150.000 untuk wisatawan lokal dan Rp300.000 untuk wisatawan asing per hari (harga dapat berubah sesuai kebijakan pemerintah).


Sembalun: Surga di Lereng Gunung


Sembalun bukan hanya sekadar titik awal pendakian. Tempat ini memiliki banyak keindahan tersendiri. Para pendaki sering menggunakan waktu sehari sebelum pendakian untuk menjelajahi Bukit Selong, Bukit Anak Dara, dan Bukit Pergasingan—tiga bukit cantik yang menawarkan pemandangan lanskap Sembalun dari ketinggian.


Bukit Pergasingan, khususnya, menjadi favorit fotografer karena bentuk ladangnya yang berpola seperti mozaik. Jika beruntung, Anda bisa menyaksikan lautan awan dari atas bukit ini saat pagi hari.


Selain itu, masyarakat Sembalun juga dikenal sebagai penghasil bawang putih dan strawberry. Banyak homestay dan warung yang menyediakan strawberry segar hasil petik sendiri.


Tips Transportasi dan Persiapan Pendakian


Berikut beberapa tips penting untuk pendaki yang ingin menuju Sembalun dari Lombok Airport:


1. Pesan transportasi lebih awal, terutama saat musim ramai pendakian (Juni–Agustus). Harga Rp600.000–Rp700.000 adalah standar untuk mobil pribadi.

2. Jika ingin lebih hemat, bisa menggunakan bus DAMRI ke Selong, lalu lanjut dengan ojek atau mobil sewaan ke Sembalun, tapi ini memakan waktu lebih lama dan kurang nyaman untuk pendaki dengan banyak barang.


3. Pastikan fisik prima sebelum pendakian. Gunung Rinjani via Sembalun cukup menantang, terutama tanjakan ke Plawangan Sembalun yang disebut “bukit penyesalan” karena 7 tanjakan berat menjelang camp.


4. Booking izin pendakian secara online melalui situs resmi Taman Nasional Rinjani atau melalui operator lokal yang terpercaya.


Penutup: Perjalanan yang Menjadi Bagian dari Pendakian


Banyak pendaki berpikir bahwa pendakian dimulai saat menapaki jalur tanah di kaki gunung. Tapi sebenarnya, pendakian dimulai sejak dari bandara—dari saat kita memutuskan untuk mengejar puncak, dan mulai menyusuri setiap jalan menuju lerengnya.


Perjalanan dari Lombok Airport ke Sembalun, dengan harga Rp600.000, bukan sekadar perjalanan darat. Ia adalah bagian dari proses. Proses mengenal Lombok dari dekat—melalui sawahnya, senyum warganya, dan semangat para porter yang hidup berdampingan dengan gunung.


Sembalun bukan hanya basecamp, tapi awal dari perjalanan spiritual dan fisik menuju salah satu puncak terindah di Indonesia: Gunung Rinjani.


Perjalanan Menyusuri Lombok dari Bandara ke Pelabuhan Bangsal

eni sulistiani

Hari itu, langit cerah menyambut kedatangan pesawat saya di Lombok International Airport, atau yang kini dikenal sebagai Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (LOP). Dibuka secara resmi pada 1 Oktober 2011, bandara ini menggantikan Bandara Selaparang yang dulu berada di kota Mataram. Nama bandara ini diambil dari tokoh ulama besar asal Lombok, Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan. Bandara ini tak hanya menjadi pintu gerbang utama wisata ke Lombok, tetapi juga simbol kebanggaan masyarakat Nusa Tenggara Barat.

http://www.lomboksociety.web.id/2025/05/perjalanan-menyusuri-lombok-dari.html


Begitu turun dari pesawat, saya langsung merasakan suasana tropis khas pulau ini—hangat, angin lembut berhembus, dan wajah-wajah ramah para petugas bandara. Bandara ini terletak di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, dan dilengkapi fasilitas yang cukup modern: ruang tunggu nyaman, pusat informasi pariwisata, money changer, serta transportasi darat ke berbagai penjuru pulau.


Tujuan saya hari itu adalah Pelabuhan Bangsal, titik keberangkatan utama menuju Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno—tiga pulau kecil yang menjadi primadona pariwisata Lombok.


Saya sudah memesan layanan transportasi pribadi seharga Rp300.000, termasuk penjemputan di bandara dan pengantaran langsung ke Pelabuhan Bangsal. Sopir saya, Pak Hadi, sudah menunggu di pintu kedatangan dengan senyum ramah dan papan nama bertuliskan nama saya.


"Selamat datang di Lombok, Pak. Kita langsung jalan ya, kurang lebih 2 jam perjalanannya," ujar Pak Hadi sambil membukakan pintu mobil.


Menyusuri Jantung Pulau


Perjalanan dimulai. Mobil melewati Praya, pusat administratif Lombok Tengah. Di kanan kiri jalan, rumah-rumah tradisional Sasak berdiri berdampingan dengan rumah modern. Sesekali saya melihat ibu-ibu membawa hasil tani, dan anak-anak berlarian riang di tepi sawah. Pak Hadi bercerita bahwa mayoritas masyarakat di sini hidup dari pertanian dan peternakan, meski kini pariwisata mulai merambah desa-desa.


Kami terus melaju ke arah utara, melewati Kota Mataram, ibu kota provinsi. Kota ini cukup ramai, dengan lalu lintas teratur dan banyak pertokoan. Mataram menjadi pusat pemerintahan dan pendidikan, dan terlihat lebih urban dibanding wilayah lainnya. Pak Hadi menjelaskan bahwa jika ingin membeli oleh-oleh khas Lombok seperti tenun ikat atau mutiara, Mataram adalah tempat yang tepat.


Setelah keluar dari Mataram, jalan mulai menyempit dan menanjak. Kami memasuki wilayah Pusuk Pass, jalan pegunungan yang menghubungkan Mataram dengan Lombok Utara. Di sinilah pengalaman berubah menjadi lebih magis.


Pusuk Pass dan Monyet-monyet Penunggu Hutan


Pusuk Pass adalah jalur pegunungan yang hijau dan sejuk. Di sepanjang tepi jalan, monyet-monyet liar berdiri santai, seolah menyambut setiap pengunjung yang lewat. Mereka sudah terbiasa dengan mobil dan manusia. Pak Hadi memperlambat laju mobil agar saya bisa mengambil foto. Udara terasa sejuk, segar, dan aroma tanah hutan yang basah memenuhi kabin mobil.


"Ini namanya hutan Pusuk, Pak. Banyak yang berhenti di sini untuk kasih makan monyet, tapi sekarang dihimbau untuk tidak terlalu sering, biar mereka tetap mencari makan di alam," jelas Pak Hadi sambil menunjuk papan peringatan dari pemerintah.


Dari puncak Pusuk, terlihat laut biru di kejauhan. Di bawah sana, tersembunyi desa-desa nelayan yang tenang, yang sebentar lagi akan kami lewati.


Desa Malaka dan Masyarakat Lombok Utara


Perjalanan menurun membawa kami ke wilayah Lombok Utara, melewati Desa Malaka dan beberapa kampung kecil lainnya. Di sini suasana jauh lebih tenang. Masyarakatnya masih sangat lekat dengan tradisi Sasak, rumah-rumah berarsitektur kayu dan bambu terlihat di kiri-kanan jalan. Anak-anak bermain bola di tanah lapang, sementara para ibu menjemur hasil panen atau menenun di serambi rumah.


Pak Hadi bercerita bahwa banyak dari mereka mulai menyewakan rumah untuk tamu—homestay berbasis komunitas yang sekarang menjadi tren baru di pariwisata Lombok


Tiba di Pelabuhan Bangsal


Akhirnya, kami tiba di Pelabuhan Bangsal setelah perjalanan sekitar 1 jam 45 menit. Pelabuhan ini terletak di Pemenang, Lombok Utara, dan menjadi gerbang utama ke Kepulauan Gili. Meski sederhana, pelabuhan ini cukup terorganisir.


Ada dua jenis kapal yang tersedia: kapal publik (public boat) dan kapal cepat (speedboat). Kapal publik beroperasi dari pagi hingga sore, dengan tarif yang sangat terjangkau, sementara speedboat melayani penyeberangan lebih cepat dengan harga yang lebih tinggi. Di sekitar pelabuhan, terdapat loket tiket resmi, kantin kecil, dan pusat informasi wisata.


"Hati-hati, Pak, jangan langsung percaya sama calo. Tiket resmi beli di loket ya," pesan Pak Hadi sebelum kami berpisah.


Pelabuhan Bangsal bukan hanya tempat transit. Di sekitarnya ada pantai berpasir putih, warung lokal, dan pemancing-pemancing tradisional yang tetap setia melaut meski tempat ini makin ramai wisatawan. Masyarakat sekitar sangat terbiasa dengan kehadiran turis, dan sebagian besar dari mereka kini bekerja sebagai pemandu wisata, pemilik warung, atau operator perahu.


Penutup: Transportasi Nyaman, Pengalaman Berkesan


Saya duduk sejenak di tepi pelabuhan, menunggu kapal ke Gili Trawangan, sambil merenungkan perjalanan tadi. Dari bandara yang modern ke pelabuhan yang sederhana, saya menyaksikan perubahan lanskap, budaya, dan kehidupan masyarakat Lombok secara langsung.

Dengan biaya Rp300.000, saya merasa mendapatkan lebih dari sekadar transportasi. Saya mendapatkan pengalaman menyusuri jantung pulau, cerita dari warga lokal, dan pemahaman tentang bagaimana modernitas dan tradisi berdampingan di Lombok.


Jika kamu berencana ke Gili, jangan terburu-buru naik kapal. Nikmatilah perjalanan daratnya. Karena di Lombok, keindahan bukan hanya ada di tujuan, tapi juga dalam setiap langkah perjalanannya.

Perjalanan dari Pelabuhan Lembar ke Pelabuhan Bangsal

eni sulistiani

Pulau Lombok bukan hanya soal pantai eksotis dan perbukitan hijau yang menyejukkan mata. Pulau ini adalah rumah bagi kehidupan yang kaya akan budaya, spiritualitas, dan harmoni yang terjalin erat dalam keseharian masyarakatnya. Salah satu cara terbaik untuk merasakan denyut kehidupan ini adalah dengan menelusuri perjalanan darat dari Pelabuhan Lembar ke Pelabuhan Bangsal, dua simpul penting di Lombok yang menghubungkan wisatawan dengan berbagai destinasi menawan. Perjalanan ini bisa dinikmati dengan harga Rp300.000, menggunakan mobil travel nyaman yang siap menjemput Anda langsung dari pelabuhan.

Pelabuhan Lembar: Gerbang Barat Lombok

Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Lembar, pelabuhan utama di bagian barat daya Pulau Lombok yang menjadi pintu masuk bagi kapal-kapal ferry dari Bali, khususnya dari Pelabuhan Padangbai. Suasana di Lembar cukup sibuk, namun tetap terasa santai dengan nuansa lokal yang kental. Di sekeliling pelabuhan, Anda akan menemukan kios makanan ringan, warung kopi, dan para sopir yang menawarkan jasa angkutan menuju berbagai destinasi di pulau ini.

http://www.lomboksociety.web.id/2025/05/perjalanan-dari-pelabuhan-lembar-ke.html


Pelabuhan ini menjadi denyut nadi transportasi dan perdagangan, tempat bertemunya para pelancong, pekerja, dan warga lokal. Ketika melangkah keluar dari pelabuhan, Anda tak hanya disambut oleh deretan mobil travel, tetapi juga oleh keramahan khas masyarakat Sasak yang membuat Anda merasa seperti sedang pulang ke kampung halaman.

Rute Lembar ke Bangsal: 2 Jam Penuh Cerita dan Pemandangan

Perjalanan dari Lembar ke Bangsal memakan waktu sekitar 2 jam, tergantung kondisi lalu lintas. Rute ini akan membawa Anda menyusuri jalanan yang menampilkan wajah asli Lombok: mulai dari pesisir, perkotaan, hingga pedesaan yang tenang. Dari Lembar, kendaraan akan bergerak menuju Sekotong, kawasan pesisir yang masih alami. Sepanjang jalan, Anda akan disuguhi pemandangan laut biru dan deretan perbukitan hijau yang mengalun pelan, seolah memeluk garis pantai.


Masuk ke wilayah Gerung, Anda akan melihat aktivitas warga di pasar tradisional, masjid yang berdiri megah, dan anak-anak yang baru pulang dari sekolah agama. Lanjut ke Narmada, kawasan ini menyimpan sejarah kerajaan Hindu-Bali, dengan Taman Narmada sebagai ikon—sebuah taman air kuno tempat para raja dulu beristirahat.


Dari Narmada, perjalanan bergerak ke arah utara melalui Gunungsari dan Batu Layar. Jalanan mulai menanjak, membawa Anda ke dataran yang lebih tinggi. Di sinilah salah satu view terbaik mulai terbentang: hamparan sawah bertingkat, dengan latar belakang Gunung Rinjani yang menjulang megah. Saat cuaca cerah, gunung ini tampak sangat dekat, seolah hanya berjarak beberapa langkah saja.


Pesisir Barat Laut: Puncak Keindahan di Bukit Malimbu


Memasuki daerah Senggigi, jalan mulai meliuk mengikuti kontur perbukitan pesisir barat laut. Jalur ini adalah favorit banyak pelancong karena di sinilah panorama laut dan pulau-pulau Gili terlihat sempurna. Anda akan melewati Pantai Nipah dan Bukit Malimbu, dua titik terbaik untuk beristirahat sejenak dan menikmati keindahan alam.


Dari Bukit Malimbu, Anda bisa melihat langsung Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air di kejauhan, mengapung di tengah laut biru seperti permata. Sering kali, turis berhenti di sini hanya untuk mengabadikan momen, menikmati kelapa muda sambil memandangi matahari perlahan menuruni cakrawala.


Pelabuhan Bangsal: Gerbang Menuju Tiga Gili


Akhir perjalanan membawa Anda ke Pelabuhan Bangsal, yang terletak di wilayah Pemenang, Lombok Utara. Pelabuhan ini lebih kecil dari Lembar, namun sangat vital karena menjadi titik keberangkatan utama menuju Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Di sini, Anda akan melihat perahu-perahu kayu berjajar rapi, siap mengantar para wisatawan menyeberang.


Meski suasana di Bangsal lebih santai dan terkesan “turistik”, Anda tetap bisa merasakan atmosfer lokal yang kuat. Warga sekitar banyak yang bekerja sebagai pengemudi cidomo (kereta kuda), nakhoda perahu, atau pedagang oleh-oleh. Meskipun keseharian mereka dipenuhi oleh interaksi dengan wisatawan, nilai-nilai lokal tetap dijaga dengan baik.


Wajah Sehari-Hari Masyarakat Lombok


Selama perjalanan, satu hal yang paling terasa adalah karakter masyarakat Lombok yang religius dan bersahaja. Mayoritas penduduk di pulau ini adalah suku Sasak yang memeluk agama Islam. Masjid berdiri hampir di setiap desa dan suara azan menjadi bagian dari ritme harian mereka. Namun religiusitas mereka bukanlah sesuatu yang menghalangi keterbukaan, justru menjadi fondasi dari kehidupan sosial yang hangat dan saling menghargai.


Setiap pagi dan sore, Anda bisa melihat anak-anak bersarung berangkat atau pulang dari madrasah. Ibu-ibu berjilbab ramah melayani pembeli di pasar. Kaum pria berkumpul di berugaq—gazebo tradisional tempat mereka berdiskusi, beristirahat, atau sekadar bercengkerama. Tradisi gotong royong masih hidup, dan dalam momen tertentu seperti bulan Ramadhan atau acara adat, masyarakat saling bahu membahu dalam kebersamaan yang hangat.


Mata pencaharian masyarakat cukup beragam. Di wilayah pesisir, banyak yang menjadi nelayan atau pelaku wisata. Di pedalaman, masyarakat bertani padi, tembakau, atau menenun kain tradisional. Kain songket Lombok menjadi simbol kerja keras dan keindahan seni yang diwariskan turun-temurun oleh para perempuan Sasak.


Harmoni Alam dan Manusia


Apa yang membuat Lombok begitu memikat bukan hanya pemandangannya, tetapi juga keseimbangan antara alam dan manusianya. Alam dihormati sebagai bagian dari kehidupan spiritual. Gunung Rinjani, misalnya, dianggap suci dan sering menjadi tempat semedi atau peribadatan oleh sebagian masyarakat. Bahkan, sebelum mendaki Rinjani, para pemandu lokal sering melakukan ritual kecil sebagai bentuk penghormatan terhadap alam.


Di tengah geliat pariwisata yang terus tumbuh, masyarakat Lombok tetap berusaha menjaga jati diri. Mereka terbuka pada modernitas, tapi tak lupa akar budaya. Anak muda mulai belajar bahasa asing, bekerja di sektor pariwisata, tapi mereka tetap pulang ke rumah untuk berbuka puasa bersama keluarga, tetap ikut ronda malam, dan tetap membangun masjid bersama tetangga.


Akhir Perjalanan, Awal Cerita


Perjalanan dari Lembar ke Bangsal memang hanya menempuh jarak sekitar 70 kilometer. Namun setiap kilometer menyimpan cerita. Tentang alam yang luar biasa indah. Tentang masyarakat yang hangat dan menjunjung tinggi nilai. Tentang hidup yang berjalan dalam kesederhanaan, namun penuh makna.


Dengan biaya Rp300.000, perjalanan ini bukan sekadar berpindah tempat. Ini adalah kesempatan untuk merasakan denyut jantung Lombok yang sesungguhnya. Dari pelabuhan ke pelabuhan, dari laut ke laut—dan dari hati ke hati