Perjalanan Pagi Menuju Senaru: Cerita dari Kursi Penumpang Bersama Pak Roni
Pagi itu, langit Lombok tampak cerah, udara bersih, dan angin sejuk dari perbukitan selatan mulai terasa sejak keluar dari pintu kedatangan Bandara Internasional Lombok. Kami dijemput oleh Pak Roni, seorang sopir lokal yang sudah belasan tahun mengantarkan wisatawan ke berbagai penjuru pulau. Mobilnya bersih dan nyaman, dengan AC dingin dan senyuman hangat menyambut kami.
“Selamat pagi, Bapak/Ibu. Selamat datang di Lombok. Saya Roni, yang akan mengantar ke Senaru hari ini,” sapa beliau ramah sambil membantu memasukkan koper ke bagasi.
Kami berangkat sekitar pukul 07.30 pagi. Suasana masih lengang, dan perjalanan terasa menyenangkan sejak awal. Rute menuju Senaru akan memakan waktu sekitar 2,5 sampai 3 jam, tergantung kondisi lalu lintas. Perjalanan ini menempuh jalur tengah Pulau Lombok, melewati Mataram, kemudian menuju utara ke arah kaki Gunung Rinjani.
Setelah beberapa menit perjalanan, Pak Roni mulai bercerita.
“Biasanya tamu-tamu saya senang ngobrol tentang Lombok di jalan. Kalau Bapak/Ibu tidak keberatan, saya bisa cerita sedikit tentang kampung halaman saya ini.”
Kami tentu saja menyambut tawaran itu. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari mendengar cerita langsung dari orang lokal.
“Lombok ini pulau yang kecil, tapi sangat beragam. Penduduk aslinya mayoritas adalah suku Sasak. Tapi di sini juga banyak orang Bali, Jawa, bahkan Bugis dan Arab. Semuanya hidup berdampingan. Kalau ke kota seperti Mataram, bisa lihat pura berdiri di samping masjid. Itu hal biasa di sini,” jelasnya sambil tetap fokus mengemudi.
Mobil melintasi hamparan sawah dan perkampungan. Anak-anak berseragam sekolah tampak di pinggir jalan, beberapa ibu sedang menyapu halaman rumah, dan laki-laki tua duduk di bale-bale bambu sambil menyeruput kopi.
“Sasak itu punya banyak tradisi, lho. Salah satunya adalah merariq, semacam pernikahan adat. Tapi uniknya, sebelum menikah, biasanya pengantin perempuan ‘diculik’ dulu oleh pihak laki-laki. Itu bagian dari adat kami,” lanjut Pak Roni, sambil tertawa kecil.
Ia juga menjelaskan bahwa masyarakat Sasak sangat menjunjung nilai kekeluargaan dan gotong royong. Dalam setiap acara, baik pernikahan, khitanan, hingga kematian, semua tetangga pasti membantu—baik dalam bentuk tenaga, bahan makanan, atau waktu.
Kami melewati kota kecil bernama Tanjung, lalu terus menanjak ke daerah Bayan. Di sinilah suasana pegunungan mulai terasa. Udara menjadi lebih sejuk, pepohonan rimbun menghiasi sisi kiri dan kanan jalan.
“Kalau Ibu dan Bapak lihat di kiri jalan, itu namanya hutan Sesaot. Banyak kera liar di sana, tapi aman. Dulu masyarakat sini percaya hutan itu dijaga oleh makhluk halus. Jadi kalau lewat situ malam-malam, harus jaga sikap,” ujarnya dengan nada bercanda, tapi tetap menyiratkan rasa hormat terhadap alam.
Kami bertanya tentang kehidupan beragama di Lombok, dan beliau menjelaskan bahwa Lombok dikenal dengan sebutan “Pulau Seribu Masjid.”
“Memang betul, masjid di sini banyak sekali. Tapi jangan salah, kami juga hidup berdampingan dengan umat Hindu, Kristen, dan Budha. Kalau lebaran, tetangga kami yang non-Muslim ikut membantu persiapan. Kalau ada upacara Hindu, kami juga datang bantu. Karena bagi orang Lombok, tetangga itu saudara,” jelas Pak Roni dengan suara mantap.
Ia juga menyinggung soal Islam Wetu Telu, sebuah kepercayaan unik yang dianut sebagian kecil masyarakat Sasak, khususnya di wilayah Bayan. Mereka menjalankan ajaran Islam tapi hanya melakukan shalat tiga kali sehari, dan masih memadukan ajaran Islam dengan tradisi leluhur.
“Bayan itu tempat penting. Di sana ada masjid kuno yang dibangun dari anyaman bambu dan atap ijuk. Masih digunakan untuk upacara adat. Kalau nanti Bapak/Ibu ada waktu, bisa mampir sebelum ke Senaru,” sarannya.
Sepanjang jalan, Pak Roni juga menunjukkan tempat-tempat penting, seperti pasar tradisional, sekolah, hingga rumah-rumah adat. Kami semakin terkesan bukan hanya dengan keindahan alam Lombok, tapi juga dengan kekayaan budaya dan keramahan penduduknya.
Sekitar pukul 10.30, kami akhirnya sampai di Senaru. Udara di sini jauh lebih sejuk, karena letaknya di kaki Gunung Rinjani. Dedaunan bergetar halus diterpa angin pegunungan, dan suara burung terdengar dari kejauhan.
“Sampai juga kita di Senaru. Ini tempat favorit saya, karena dekat dengan alam dan masih terasa suasana Lombok yang asli. Kalau Bapak/Ibu butuh rekomendasi penginapan atau guide untuk trekking, saya bisa bantu,” ujar Pak Roni sambil menurunkan barang.
Sebelum berpisah, ia memberikan nomor teleponnya.
“Nanti kalau mau pulang atau ke tempat lain di Lombok, tinggal hubungi saya saja. Saya siap antar kapan saja,” katanya ramah.
Perjalanan pagi itu bukan hanya sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Tapi juga perjalanan hati, mengenal Lombok dari dalam—dari cerita, wajah, dan semangat orang-orangnya. Terima kasih, Pak Roni. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.
Info Layanan:
Rute: Lombok Airport (LOP) ke Senaru
Waktu Jemput: Pagi hari (dapat disesuaikan)
Durasi Perjalanan: ±3 jam
Harga: Rp600.000 (termasuk mobil AC, sopir berpengalaman, dan bahan bakar)
Sopir: Pak Roni – ramah, komunikatif, dan mengenal budaya lokal
Kontak & Reservasi: [Nomor WhatsApp atau link booking]
Nikmati perjalanan yang nyaman dan penuh cerita bersama kami. Lombok bukan hanya tempat, tapi pengalaman.