Transportasi bandara Lombok ke Mataram | LOmbok Society

Kamis, 01 Mei 2025

Transportasi bandara Lombok ke Mataram

Transportasi bandara Lombok ke Mataram

Dari Surabaya ke Mataram – Perjalanan Awal yang Menghangatkan Hati


Namaku Dimas. Aku berasal dari Surabaya, dan bulan lalu aku mendapatkan kabar baik: sebuah perusahaan teknologi yang sedang berkembang di Mataram, Lombok, menerima lamaranku sebagai desainer UI. Aku senang bukan main—selain karena pekerjaan impian itu akhirnya datang juga, aku juga akan pindah ke pulau yang selama ini hanya bisa kulihat lewat foto dan cerita teman-teman yang liburan ke sana.

http://www.lomboksociety.web.id/2025/05/transportasi-bandara-lombok-ke-mataram.html


Namun, aku bukan datang untuk liburan. Setidaknya bukan langsung. Aku datang untuk memulai hidup baru. Tapi siapa sangka, bahkan hari pertamaku di Lombok—baru saja menapakkan kaki di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid—sudah memberiku pengalaman yang tak akan kulupakan.


Pesawat dari Surabaya mendarat mulus sekitar pukul 9 pagi. Udara Lombok terasa berbeda—lebih hangat, lebih bersih, dan entah bagaimana terasa lebih santai. Aku keluar dari terminal dengan membawa dua koper besar, backpack di punggung, dan satu folder berisi dokumen penting.


Aku sempat bingung mau naik apa ke Mataram. Aku tahu jaraknya sekitar 45 menit sampai satu jam dari bandara, tergantung lalu lintas. Sebagai orang yang belum pernah ke sini, aku sempat browsing beberapa hari sebelumnya, dan menemukan banyak pilihan: taksi bandara, ojek online, atau jasa transportasi lokal. Tapi aku akhirnya memilih satu jasa yang direkomendasikan teman—mobil pribadi dengan sopir lokal, harga Rp150.000. Katanya, supirnya ramah dan tahu semua tempat di Lombok.


Begitu keluar dari terminal, aku langsung melihat seseorang membawa papan bertuliskan namaku. “Dimas – Transport Mataram.” Aku menghampirinya.


“Selamat pagi, Mas Dimas,” sapa pria itu sambil tersenyum ramah. “Saya Dani, yang akan antar ke Mataram.”


Mobilnya bersih dan ber-AC, sebuah Avanza putih yang terlihat masih cukup baru. Setelah membantu memasukkan koporku ke bagasi, Dani langsung menyalakan mesin dan mulai perjalanan.


“Mas baru pertama kali ke Lombok ya?” tanyanya sambil menatap jalan.


Aku mengangguk. “Iya, Mas. Dapat kerjaan di Mataram. Baru mulai minggu depan.”


“Wah, selamat ya Mas. Banyak yang datang ke sini sekarang, Lombok makin berkembang. Mataram enak kok, kotanya tenang, orang-orangnya ramah.”


Sepanjang perjalanan, Dani banyak bercerita. Tentang bagaimana dulunya dia bekerja di sektor pariwisata Gili Trawangan, tapi sejak pandemi, dia banting setir jadi supir transportasi bandara. Ia bangga karena bisa bantu wisatawan maupun pekerja baru seperti aku untuk merasa nyaman di hari pertama mereka di Lombok.


“Mas tahu nggak,” ujarnya sambil menunjuk ke arah sawah di sisi kanan jalan, “dulu daerah sini cuma sawah dan kebun, tapi sekarang sudah banyak dibangun homestay. Banyak orang luar datang buka usaha.”


Aku hanya bisa mengangguk sambil mengagumi pemandangan. Sawah hijau yang membentang luas, gunung yang menjulang dari kejauhan, dan udara yang sejuk membuatku lupa sejenak tentang kekhawatiran hari pertama: tempat kerja baru, lingkungan baru, orang-orang baru.


Dani tidak hanya mengantarku, tapi juga memberikan informasi penting. Ia memberitahuku di mana pasar terdekat, bank yang biasa digunakan pendatang, dan bahkan menawarkan bantuan kalau aku butuh dijemput atau diantar ke tempat-tempat lain nanti.


“Kita mampir bentar ya Mas, ini jalur yang biasa saya lewati. Kalau Mas nanti mau makan enak dan murah, warung ini juaranya,” katanya sambil parkir di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Aku sebenarnya tidak lapar, tapi melihat nasi balap puyung dengan lauk ayam suwir pedas dan telur bulat kecoklatan, aku langsung berubah pikiran.


“Makan dulu Mas, biar kuat,” ujarnya sambil tersenyum. Ia bahkan menolak ketika kutawarkan untuk kubayari juga.


Setelah makan, kami lanjut jalan. Sekitar 20 menit kemudian, kami mulai memasuki Kota Mataram. Aku bisa merasakan perubahan suasana—dari jalanan pedesaan yang tenang ke lalu lintas yang mulai ramai. Tapi tidak seramai Surabaya. Di sini terasa lebih teratur, lebih santai.


“Ini Mas, hotel tempat Mas nginap kan?” Dani memarkirkan mobilnya di depan sebuah penginapan kecil di kawasan Cakranegara. Aku memeriksa alamat yang kuberikan—benar.


Aku mengeluarkan uang Rp150.000 dan menyodorkannya padanya. Ia menerimanya dengan senyum dan berkata, “Kalau Mas butuh apa-apa, tinggal hubungi saya saja. Nomor saya sudah ada di WhatsApp ya.”


Sebelum pergi, ia sempat berkata, “Selamat mulai hidup baru di Lombok ya, Mas. Semoga betah. Di sini orangnya ramah-ramah, dan pemandangannya bagus. Tapi yang paling penting, jangan lupa senyum.”


Perjalanan yang awalnya kukira cuma antar-jemput biasa itu ternyata jadi pengalaman menyenangkan. Tidak hanya karena mobilnya nyaman dan harganya terjangkau, tapi karena sambutan yang hangat dari orang-orang seperti Dani yang membuatku merasa diterima.


Di malam hari, saat aku membuka jendela kamar hotel dan merasakan angin sepoi dari luar, aku tersenyum sendiri. Lombok menyambutku bukan dengan gegap gempita, tapi dengan keramahan dan ketulusan. Dan semuanya dimulai dari perjalanan Rp150.000 dari bandara.


eni sulistiani

Author & Editor

I am an Hotelier who worked for hotel and travel agent, now i arrange my business site to help the people find the best online ticketing and trip during their vacation in Lombok.